Mantan pemimpin Libia,
Moammar Khadafi, tewas mengenaskan di tanah kelahirannya, Sirte, setelah
diserang pasukan dewan, Kamis (20/10). Pria yang telah memimpin Libya selama 41
tahun ini diketahui tewas akibat tembakan peluru di kepalanya. Perdana Menteri
Libya, Mahmoud Jibril, menerangkan seperti dilansir CNN, Jumat (21/10/2011), kejadian
ini terjadi setelah pasukan Dewan Transisi Nasional berhasil mengepung kota
Sirte, Khadafi ditangkap hidup-hidup dalam keadaan sehat tanpa perlawanan. Pria
yang mengenakan kaos berwarna coklat,
dan sorban ini terkena tembak di lengan kanan saat ia akan dipindahkan ke dalam
kendaraan untuk menuju Misrata. Pada saat Khadafi akan dimasukkan ke dalam
mobil, baku tembak antara pasukan transisi dewan dan pasukan loyalis Khadafi
pun terjadi. Khadafi terjebak dalam baku tembak tersebut, kemudian tembakan
peluru melesat tepat mengenai bagian kepalanya, lalu ia tewas saat menuju Rumah
Sakit.
Di rumah sakit, sampel DNA yaitu darah dan air liur
Khadafi diperiksa tim porensik. Pihak Rumah Sakit menyatakan bahwa orang yang
tewas tersebut adalah Khadafi. Tak lama kemudian, kerumunan orang di seluruh
Libya bersorak-sorak merayakan kematian Khadafi.
Mengulas masa awal kepemimpinannya, Khadafi dikenal
sebagai seorang pemimpin revolusioner yang berani dan radikan. Pria yang selalu
memproklamasikan sistem anti-barat ini, berhasil mengenggam Libya setelah
sukses merebut tahta kerajaan dari tangan Raja Idris, saat itulah satu kudeta
ia taklukan. Ia mulai memimpin Libya pada tahun 1969, lantas merubah bentuk
Negara dari kerajaan menjadi republik setelah 7 tahun masa awal kepemimpinannya.
Selama menjadi pemimpin, Khadafi akrab dengan kekerasan. Ia mampu bertahan
selama 40 tahun lebih, memakai segala cara untuk menaklukan musuhnya.
Khadafi tak pernah takut akan serangan operasi
militer negara Amerika yang selama ini terus mengintainya. Pada tahun 1986,
kediaman Khadafi dihajar bom oleh jet tempur Amerika, banyak pengikutnya yang
tewas, namun Khadafi selamat dan terus melakukan pergolakan dan meneriakan sistem
anti-Amerika di negeri Libya.
Meski tampak rapuh, semangat Khadafi tak pernah
padam, ia terus mengobarkan api agar para pendukung setianya terus berjuang
sampai titik darah penghabisan. Namun, sang pejuang yang memproklamasikan system
soasialis islam di negeri Libia ini harus mengakhiri kisahnya setelah ditembak
mati di Sirte.
Lalu, bagaimanakah nasib Libia selepas pemerintahan
otoriter Khadafi? Apakah rakyat Libia masih dan akan terus tertawa setelah perayaan
tewasnya pemimpin mereka?
Kita tidak dapat menyalahkan apapun langkah yang
diambil rakyat Libia untuk menumbangkan rezim pemimpin mereka. Mereka layak
dihargai atas segala upaya untuk memperjuangkan masa depan negara mereka.
Mantan pemimpin mereka yang otoriter telah
menghabiskan banyak nyawa, tanpa pikir panjang ia menembak mati para
demonstran, atau siapapun yang tidak sepakat dengan pola pemerintahannya. Tentu
saja pertumpahan darah seperti ini tidak dapat diterima oleh siapapun, sehingga
aksi nekat dan brutal antara pemimpin dan rakyatnya saling bersautan. Polah
pemimpin yang tidak dapat diajak kompromi seperti ini yang akan disingkirkan
oleh rakyatnya.
Ditinjau dari sektor ekonomi, Libya merupakan salah
satu produsen minyak terbesar di dunia. Dampak dari pertumpahan darah ini, para
pekerja ekspatriat beserta anggota keluarga mereka dievakuasi sehingga hal ini
menghambat produksi minyak yang mengakibatkan kerugian besar bagi bangsa Libya
sendiri.
Coba kita tengok dari
pengalaman bangsa Irak dan Afganistan, mereka telah gagal berkoalisi dengan
sistem demokrasi. Bisa jadi sistem tersebut hanya untuk kepentingan bangsa
barat dan malah menjerumuskan bangsa Libia. Kita sungguh berharap nasib rakyat
Libya tidak seperti rakyat Afghanistan dan Irak. Banyak yang harus mereka
benahi, terutama ketertiban dan keamanan Negara harus segera diperhatikan
setelah aksi kekerasan penggulingan pemimpin mereka. Semoga segera hadir
seorang pemimpin yang mampu membawa Libia melewati masa-masa sulit ini dan bisa
memberikan kesejahteraan untuk rakyat.